Surabaya Newsweek- Pembahasan
Penutupan Dolly ternyata tidak semudah yang di rencanakan oleh Pemkot Surabaya,
tidak seperti Lokalisasi seperti sebelumnya yang masuk daftar penutupan
Lokalisasi, Namun untuk Dolly lokalisasi yang terbesar se Asia bukan, semudah
membalik tangan banyak saja rintangan yang harus dilalui Pemkot Surabaya untuk bisa merealisasikan tujuannya untuk penutupan
Dolly , salah satunya dengan cara persuasif dengan warga terdampak biar tidak
menjadikan gejolak warga terdampak.
Disinyalir pertemuan yang ‘Alot’ dengan Warga terdampak
hingga saat ini masih belum menghasilkan titik terang antara Wawalikota dengan
warga terkait penutupan Dolly, karena data yang dilaporkan sebelumnya dianggap warga sebagai pendapat
dari sejumlah warga yang telah direkayasa sehingga tidak bisa di klaim sebagai
suara warga terdampak secara keseluruhan.
Rapat dengar pendapat
antara warga Putat Jaya dan Wawalikota Surabaya yang didampingi Kadisnaker
(mantan Camat Sawahan), Camat Sawahan, dan Kadar kader PDIP yang berhasil lolos
menjadi anggota Legelatif di Pileg 2014 dari Putat Jaya, membahas seputar
keluhan, tuntutan dan kesiapan warga terdampak soal deadline pemkot Surabaya
yang akan menutup total wilayah lokalisasi terbesar se Asia Tenggara ini.
Sejumlah elemen yang menolak rencana penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak juga turut hadir dalam pertemuan untuk memberikan pendampingan kepada warga, yang mengatakan bahwa warganya belum siap menutup lokalisasi karena keberadaannya merupakan satu-satunya roda perekonomian keluarganya.
“lokalisasi dolly dan jarak adalah roda ekonomi warga kami, tentu kami pasti menolak, selesaikan dulu persoalan lokalisasi yang telah ditutup, apakah masalah ekonomi masyarakat disana sudah diselesaikan, karena bukan tidak mungkin kami akan bernasib sama yakni ditinggalkan begitu saja oleh pemkot seperti mereka,” ucap Teguh anggota Front Pembela Lokalisasi (FPL).
Teguh juga mengatakan bahwa penutupan 4 lokalisasi sebelumnya dinilai bukan keberhasilan pemkot Surabaya, tetapi karena lokalisasi yang ditutup memang banyak pemukiman keluarga dan kondisinya sudah sepi, sehingga warga setempat menerima saja apa yang ditawarkan pemkot, pemprov dan Kemensos.
Demikian juga dengan ibu Joko yang telah bertahun-tahun berprofesi sebagai mucikari, yang dengan lantang bertanya kepada wawalikota, sebenarnya siapa yang menjadi target penutupan pemkot, PSK atau pengusahanya.
“sebenarnya yang menjadi target ini siapa, PSK atau pengusahanya, karena kami yang disini terus diobrak bahkan di intimidasi, sementara diluar sana yang jelas-jelas merupakan lokasi esek-esek tetap dibiarkan, seperti hotel, karaoke,spa, panti pijat bahkan disejumlah hotel berbintang, ini tidak adil pak,” ucap sang ibu yang mengaku masih mempunyai beban sekolah beberapa anaknya.
Dijelaskan oleh ibu joko bahwa tata tertib soal pelarangan jumlah PSK baru saja sebenarnya sudah cukup mengancam usaha rumah bordilnya, karena seiring dengan waktu jumlah psknya akan habis llantaran usia dan akhirnya tutup, namun dampaknya kini justru muncul banyak sekali psk baru yang menempati sejumlah rumah kos di sekitar lokalisasi, karena tidak bisa masuk sebagai anggota baru yang artinya malah memperlebar area lokalisasi,
Menanggapi sejumlah pertanyaan yang hampir seluruhnya di sampaikan dengan tegas bahkan pedas, Wisnu Sakti Buana (WS) tetap berusaha tampil tenang dalam menyampaikan visi dan misi yang diembannya dari Risma Walikota Surabaya.
“kenapa saya selama ini berbeda pendapat dengan pemkot Surabaya, ya karena ingin mendengar langsung apa yang menjadi keluhan warga terdampak seperti sekarang ini, intinya saya datang kesini untuk mengemban tugas dari Walikota sekaligus ingin memberikan rasa keadilan berupa jaminan penghasilan kepada seluruh warga terdampak yang ada di 4 RW dengan jumlah KK sekitar 1300 an,” ucap WS
Dalam paparannya Wisnu meyakinkan kepada warga bahwa pemkot Surabaya sangat mampu memberikan jaminan penghasilan untuk warga terdampak dari dana APBD yang nilainya mencapai sekitar 6,7 triliun rupiah pertahunnya.
“sebenarnya pemkot Surabaya dengan dana APBD senilai 6,7 triliun pertahun, sangat mampu memberikan jaminan penghasilan kepada seluruh warga terdampak, jika warga terdampak sepakat dan siap lokalisasi ini ditutup maka saya sebagai pejabat Wawalikota Surabaya juga siap diajak membuat perjanjian tertulis diatas materai atau notaris terkait dana jaminan penghasilan itu agar kepastian hukumnya mengikat, dan warga bisa menuntut jika pemkot ingkar janji,” tandas ketua DPC PDIP Surabaya ini.
Untuk semakin meyakinkan warga, Wisnu juga menjelaskan bahwa perjanjian yang akan dibuat adalah antara pemkot Surabaya dengan warga terdampak, bukan pribadi dirinya atau Risma.
“isi perjanjian jaminan penghasilan sebaiknya dibuat antara warga terdampak dengan pemkot Surabaya, bukan pribadi Wisnu atau Risma, sehingga siapapun yang menjabat tetap terikat dengan perjanjiannya,” paparnya.
Diskusi interaktif antara pemkot Surabaya yang dalam hal ini diwakili Wisnu wawalikota, Kadisnaker dan Camat Sawahan memang berlangsung sangat alot, karena sebagian besar warga yang hadir dan sejumlah elemen pendukung warga masih terkesan berat jika pemkot Surabaya melakukan penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak dalam waktu dekat apalagi tanggal 19 Juni mendatang, dengan alasan belum siap.
Rencananya acara temu warga akan terus dilakukan ke seluruh wilayah yakni 5 RW di Kelurahan Putat Jaya karena sekaligus merupakan langkah sosialisasi yang selama ini belum pernah dilakukan oleh SKPD pemkot Surabaya terkait. ( Ham )
Sejumlah elemen yang menolak rencana penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak juga turut hadir dalam pertemuan untuk memberikan pendampingan kepada warga, yang mengatakan bahwa warganya belum siap menutup lokalisasi karena keberadaannya merupakan satu-satunya roda perekonomian keluarganya.
“lokalisasi dolly dan jarak adalah roda ekonomi warga kami, tentu kami pasti menolak, selesaikan dulu persoalan lokalisasi yang telah ditutup, apakah masalah ekonomi masyarakat disana sudah diselesaikan, karena bukan tidak mungkin kami akan bernasib sama yakni ditinggalkan begitu saja oleh pemkot seperti mereka,” ucap Teguh anggota Front Pembela Lokalisasi (FPL).
Teguh juga mengatakan bahwa penutupan 4 lokalisasi sebelumnya dinilai bukan keberhasilan pemkot Surabaya, tetapi karena lokalisasi yang ditutup memang banyak pemukiman keluarga dan kondisinya sudah sepi, sehingga warga setempat menerima saja apa yang ditawarkan pemkot, pemprov dan Kemensos.
Demikian juga dengan ibu Joko yang telah bertahun-tahun berprofesi sebagai mucikari, yang dengan lantang bertanya kepada wawalikota, sebenarnya siapa yang menjadi target penutupan pemkot, PSK atau pengusahanya.
“sebenarnya yang menjadi target ini siapa, PSK atau pengusahanya, karena kami yang disini terus diobrak bahkan di intimidasi, sementara diluar sana yang jelas-jelas merupakan lokasi esek-esek tetap dibiarkan, seperti hotel, karaoke,spa, panti pijat bahkan disejumlah hotel berbintang, ini tidak adil pak,” ucap sang ibu yang mengaku masih mempunyai beban sekolah beberapa anaknya.
Dijelaskan oleh ibu joko bahwa tata tertib soal pelarangan jumlah PSK baru saja sebenarnya sudah cukup mengancam usaha rumah bordilnya, karena seiring dengan waktu jumlah psknya akan habis llantaran usia dan akhirnya tutup, namun dampaknya kini justru muncul banyak sekali psk baru yang menempati sejumlah rumah kos di sekitar lokalisasi, karena tidak bisa masuk sebagai anggota baru yang artinya malah memperlebar area lokalisasi,
Menanggapi sejumlah pertanyaan yang hampir seluruhnya di sampaikan dengan tegas bahkan pedas, Wisnu Sakti Buana (WS) tetap berusaha tampil tenang dalam menyampaikan visi dan misi yang diembannya dari Risma Walikota Surabaya.
“kenapa saya selama ini berbeda pendapat dengan pemkot Surabaya, ya karena ingin mendengar langsung apa yang menjadi keluhan warga terdampak seperti sekarang ini, intinya saya datang kesini untuk mengemban tugas dari Walikota sekaligus ingin memberikan rasa keadilan berupa jaminan penghasilan kepada seluruh warga terdampak yang ada di 4 RW dengan jumlah KK sekitar 1300 an,” ucap WS
Dalam paparannya Wisnu meyakinkan kepada warga bahwa pemkot Surabaya sangat mampu memberikan jaminan penghasilan untuk warga terdampak dari dana APBD yang nilainya mencapai sekitar 6,7 triliun rupiah pertahunnya.
“sebenarnya pemkot Surabaya dengan dana APBD senilai 6,7 triliun pertahun, sangat mampu memberikan jaminan penghasilan kepada seluruh warga terdampak, jika warga terdampak sepakat dan siap lokalisasi ini ditutup maka saya sebagai pejabat Wawalikota Surabaya juga siap diajak membuat perjanjian tertulis diatas materai atau notaris terkait dana jaminan penghasilan itu agar kepastian hukumnya mengikat, dan warga bisa menuntut jika pemkot ingkar janji,” tandas ketua DPC PDIP Surabaya ini.
Untuk semakin meyakinkan warga, Wisnu juga menjelaskan bahwa perjanjian yang akan dibuat adalah antara pemkot Surabaya dengan warga terdampak, bukan pribadi dirinya atau Risma.
“isi perjanjian jaminan penghasilan sebaiknya dibuat antara warga terdampak dengan pemkot Surabaya, bukan pribadi Wisnu atau Risma, sehingga siapapun yang menjabat tetap terikat dengan perjanjiannya,” paparnya.
Diskusi interaktif antara pemkot Surabaya yang dalam hal ini diwakili Wisnu wawalikota, Kadisnaker dan Camat Sawahan memang berlangsung sangat alot, karena sebagian besar warga yang hadir dan sejumlah elemen pendukung warga masih terkesan berat jika pemkot Surabaya melakukan penutupan lokalisasi Dolly dan Jarak dalam waktu dekat apalagi tanggal 19 Juni mendatang, dengan alasan belum siap.
Rencananya acara temu warga akan terus dilakukan ke seluruh wilayah yakni 5 RW di Kelurahan Putat Jaya karena sekaligus merupakan langkah sosialisasi yang selama ini belum pernah dilakukan oleh SKPD pemkot Surabaya terkait. ( Ham )