Surabaya Newsweek - Pemerintah
Kota (Pemkot) Surabaya melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota
Surabaya, pada Sabtu (31/5) lalu menggelar operasi yustisi di bekas lokalisasi
Moro Seneng, Sememi. Dari operasi tersebut, ditemukan 26 wanita harapan di
Wisma Srikandi dan Wisma Sriwijaya.
Kepala Satpol PP Kota
Surabaya, Irvan Widyanto menegaskan bahwa sebagai institusi penegak Peraturan
Daerah (Perda), Satpol PP tetap melakukan pengawasan rutin terhadap bekas
lokalisasi di Surabaya yang sudah dialih fungsikan. Pengawasan tersebut untuk
memastikan bahwa tidak ada lagi aktivitas prostitusi. Sebab, jelas Irvan, di
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 1999 tegas dinyatakan tentang larangan
menggunakan bangunan dan tempat untuk perbuatan asusila serta pemikatan untuk
melakukan perbuatan asusila di Surabaya.
“Bila ternyata masih
ada praktek, berarti jelas melanggar Perda,” tegas Irvan ketika jumpa pers di
kantor Bagian Humas Kota Surabaya didampingi Kepala Dinas Kesehatan, Kepala
Dinas Sosial dan Kepala Bagian Humas Kota Surabaya.
Dijelaskan Irvan,
untuk melakukan kegiatan pengawasan terhadap bangunan bekas lokalisasi yang
sudah dialih fungsikan, pihaknya memiliki banyak cara. Diantaranya dengan
melibatkan Satpol PP di masing-masing kecamatan. Selama ini, mereka lah yang
menjadi ujung tombak karena cakupa n luas wilayah Surabaya. Seperti pada razia
di Sememi.
Termasuk juga
melakukan operasi penyandang masalah kesejahteraan social (PMKS) dan wanita
harapan merupakan salah satu penyandang. Dan pada setiap minggu, Satpol PP juga
melakukan razia dengan menyisir jalan-jalan ataupun di pinggiran sungai.
Karenanya, Irvan menyangkal tudingan yang menyebut pihaknya longgar dalam
melakukan pengawasan di Sememi dan juga eks lokalisasi lainnya di Surabaya yang
sudah dialihfungsikan.
“Itu yang bisa kita lakukan. Pada malam minggu
kita juga menyisir ke berbagai tempat yang terkait Rumah Hiburan Umum (RHU) di
mana kami masuk sebagai anggota bersama Disbupdar,” jelas mantan Kabag
Pemerintahan Kota Surabaya ini.
Operasi yustisi tersebut kemudian
ditindaklanjuti dengan pemeriksaan kesehatan terhadap ke-26 wanita harapan.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Febria Rahmanita mengatakan,
pihaknya langsung melakukan pemeriksaan HIV terhadap 26 orang wanita harapan
yang terjaring razia di eks lokalisasi Sememi pada Sabtu (31/5) lalu. Dari
pemeriksaan tersebut, dua orang dinyatakan positif HIV. Selain melakukan
pengobatan IRV, Dinkes juga melakukan penyuluhan dan pendampingan.
“Untuk memotong
penularan HIV, kami mengimbau agar mereka (dua PSK yang positif HIV) untuk
tidak lagi praktek di tempat (lokalisasi) lainnya,” tegas Febria Rahmanita.
Dijelaskan Febria,
berdasarkan Perda Nomor 4 tahun 2013 Pasal 15, bahwa setiap orang yang positif
HIV, dilarang melakukan tindakan yang patut diketahui dapat menularkan atau
menyebarkan infeksi HIV pada orang lain. Dan di pasal 41, setiap orang atau
penanggung jawab usaha yang melanggar ketentuan seperti bunyi Pasal 15,
dikenakan sanksi paling berat kurungan selama tiga bulan dan denda paling besar
30 juta. “Kami bukannya membedakan
penderita HIV. Justru Perda ini melindungi penderita HIV. Tetapi juga melindungi
yang belum terkena HIV,” jelas Febria.
Sementara untuk 24
orang yang dinyatakan negatif, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya memberikan
pendampingan. Dan setelah Pemkot Surabaya berkoordinasi dengan Pemerintah
Provinsi (Pemprov) Jatim, disepakati
bahwa ke-24 wanita harapan tersebut dikirim ke Lingkungan Pondok Sosial
(Liponsos) di Kediri untuk mengikuti pelatihan. “Kami koordinasi dengan Pemprov
karena kebanyakan dari luar kota. Dua orang yang positif HIV itu juga berasal
dari Kota Malang,” sambung Febria.
Sementara Kepala
Dinas Sosial Kota Surabaya, Supomo, menjelaskan bahwa tidak ada dana kompensasi
untuk wanita harapan di lokalisasi Sememi yang tidak tepat sasaran seperti yang
diberitakan di media. Dia menjelaskan, Dinsos Kota Surabaya sudah melakukan
pendataan selama delapan kali. Tapi tidak berhasil. Baru pada pendataan
kesembilan, Dinsos bisa mendata 95 orang.
“Data itu valid.
Kalau 26 orang itu tidak mau didata, pemikiran mereka kalau tidak mau didata
dan tidak menerima uang maka lokalisasi tidak ditutup, padahal itu keliru.
Bahwa kita melakukan penutupan karena ada Perda yang menyatakan bangunan
dilarang sebagai tempat asusila. Jadi tanpa menerima itupun, lokalisasi akan
tetap ditutup,” jelas Supomo.
Menurut Supomo, stimuli
pemberian modal kepada para wanita harapan itu merupakan upaya agar mereka bisa
bekerja lebih baik setelah meninggalkan pekerjaan lamanya. Ke depannya, Dinsos
Kota Surabaya akan berupaya melakukan pendataan kembali kepada mereka yang
sebelumnya menolak didata. Namun, terkait pendataan ulang tersebut, mantan Camat
Kenjeran ini tidak bisa memastikan apakah anggaran dari Kementrian Sosial
(Kemensos) akan bisa cair. “Karena yang punya duit kan Kemensos. Misalkan kami
sudah mendata lalu kami kirim ke Kemensos yah tergantung mereka apakah masih
mencairkan atau tidak,” jelas Supomo.(
*** )