Surabaya Newsweek- Deklarasi penutupan dolly yang
dilaksanaan besok hari rabu 18 Juni 2014, bukan rahasia umum lagi semuanya
mengetahui , apalagi warga terdampak Dolly sudah bersiap- siap untuk tidak
mematuhi deklarasi tersebut , karena menurutnya
deklarasi itu tidak ada dasar hukumnya
hanya sebatas himbauan atau ajakan dan pemberitauhan bahwa Dolly
rencananya akan ditutup Oleh Pemkot Surabaya..
Apalagi dalam pertemuan antara warga terdampak
dengan Kepala SKPD masih belum terwujud sama sekali yang
difasilitasi oleh Komisi D DPRD Kota Surabaya dan berbuntut rasa kekecewaan
yang dialami oleh warga terdampak. Alhasil wacana pemanggilan paksa terus
dilontarkan warga, sehingga akhirnya Baktiono ketua komisi D menyarankan agar
warga melurug rumah dinas Walikota.
Berbagai ungkapan kekecewaan terhadap
pemerintahan Tri Rismaharini terus di sampaikan oleh sejumlah perwakilan warga
dan front pekerja lokalisasi (FPL) di ruang komisi D DPRD Surabaya, karena
upaya persuasive dengan jalur koordinasi kedua belah pihak tidak pernah bisa
berlangsung.
“tidak ada blue print dan analisis apapun yang mendasari bahwa keberadaan lokalisasi Dolly dan Jarak berpengaruh kepada perkembangan anak, sehingga kami masih mempertanyakan apa dasarnya Walikota berstatement seperti itu, apalagi dijadikan dasar untuk melakukan penutupan,” ucap Anis.
Anis juga mengatakan bahwa deklarasi yang akan dilakukan oleh pemkot Surabaya besok malam (18/6/14 pukul 19.00) di Islamic Centre tidak mempunyai kekuatan hukum karena bukan merupakan produk hukum sehingga tidak bisa memaksa siapapun untuk mentaati.
“silahkan kita mempelajari soal hukum, karena menurut kami sebuah deklarasi itu tidak ada kekuatan hukum sehingga tidak bisa memaksa siapapun untuk mentaatinya,” tambahnya.
Tidak hanya itu, lanjut dia, upaya menyelesaikan masalah dengan mengutamakan musyawarah dan mufakat dengan jalan duduk bersama yang difasilitasi DPRD Surabaya juga tidak pernah mendapatkan respon yang baik dari pemerintah kota.
“SK dan surat edaran yang beredar kami anggap adalah sebuah bentuk arogansi dari pemerintah kota terhadap warga, hal ini terbukti telah tiga kali undangan untuk duduk bersama, tetapi tidak bisa terselenggara, padahal warga loklaisasi juga termasuk mereka yang berhasil mendudukkan Risma sebagai Walikota dan Soekarwo sebagai Gubernur, namun tidak ada pembelaan sama sekali,” tandas wanita berparas manis dan berjilbab ini.
Sementara Baktiono ketua komisi D DPRD Surabaya sebagai pimpinan rapat sempat melontarkan pertanyaan berkali-kali, apakah warga sudah pernah bertemu dengan sejumlah SKPD terkait seperti Dinsos, Bakesbanglinmas dan Satpol-pp. Namun seluruh pertanyaan di jawab tidak pernah oleh perwakilan warga yang hadir.
“kami sudah berusaha untuk memfasilitasi pertemuan antara warga dengan SKPD terkait, namun jika ternyata yang dari pemkot tidak bisa hadir, kami anggota dewan tidak bisa melakukan panggilan paksa layaknya aparat hukum, dan jika bapak ibu sekalian akan menyampaikan pendapatnyan ke balai kota atau rumah dinas walikota, ya silahkan, karena kami juga tidak bisa melarang,” jelas ( Ham )
“tidak ada blue print dan analisis apapun yang mendasari bahwa keberadaan lokalisasi Dolly dan Jarak berpengaruh kepada perkembangan anak, sehingga kami masih mempertanyakan apa dasarnya Walikota berstatement seperti itu, apalagi dijadikan dasar untuk melakukan penutupan,” ucap Anis.
Anis juga mengatakan bahwa deklarasi yang akan dilakukan oleh pemkot Surabaya besok malam (18/6/14 pukul 19.00) di Islamic Centre tidak mempunyai kekuatan hukum karena bukan merupakan produk hukum sehingga tidak bisa memaksa siapapun untuk mentaati.
“silahkan kita mempelajari soal hukum, karena menurut kami sebuah deklarasi itu tidak ada kekuatan hukum sehingga tidak bisa memaksa siapapun untuk mentaatinya,” tambahnya.
Tidak hanya itu, lanjut dia, upaya menyelesaikan masalah dengan mengutamakan musyawarah dan mufakat dengan jalan duduk bersama yang difasilitasi DPRD Surabaya juga tidak pernah mendapatkan respon yang baik dari pemerintah kota.
“SK dan surat edaran yang beredar kami anggap adalah sebuah bentuk arogansi dari pemerintah kota terhadap warga, hal ini terbukti telah tiga kali undangan untuk duduk bersama, tetapi tidak bisa terselenggara, padahal warga loklaisasi juga termasuk mereka yang berhasil mendudukkan Risma sebagai Walikota dan Soekarwo sebagai Gubernur, namun tidak ada pembelaan sama sekali,” tandas wanita berparas manis dan berjilbab ini.
Sementara Baktiono ketua komisi D DPRD Surabaya sebagai pimpinan rapat sempat melontarkan pertanyaan berkali-kali, apakah warga sudah pernah bertemu dengan sejumlah SKPD terkait seperti Dinsos, Bakesbanglinmas dan Satpol-pp. Namun seluruh pertanyaan di jawab tidak pernah oleh perwakilan warga yang hadir.
“kami sudah berusaha untuk memfasilitasi pertemuan antara warga dengan SKPD terkait, namun jika ternyata yang dari pemkot tidak bisa hadir, kami anggota dewan tidak bisa melakukan panggilan paksa layaknya aparat hukum, dan jika bapak ibu sekalian akan menyampaikan pendapatnyan ke balai kota atau rumah dinas walikota, ya silahkan, karena kami juga tidak bisa melarang,” jelas ( Ham )