Tentu saja
ini akan membuat salah satu polemik dengan warga bila Pemerintah Kota Surabaya
tidak lagi memperhatikan rasa
kebersamaan dan rasa peduli kepada dampak penutupan Dolly yang mengakibatkan
mrosostnya ekonomi warga dolly yang setiap harinya mengantungan penghasilannya yang mayoritas dari tempat ‘dugem
‘ .
Walaupun
Pemerintah Kota Surabaya mebdapat dukungan bebagai ormas yang ada di Surabaya namun sikap Pemerintah
Kota Surabaya tidak harus menghilangkan rasa kebersamaan dan kepedulian untuk
bisa menyelesaikan penutupan Dolly dengan baik- baik dan duduk bersama , dengan
tidak mengedepankan perbuatan yang serta
merta sebagai penguasa di Kota Surabaya akan tetapi semua dilakukan melalui
persedur yang ada sehingga tidak merugikan salah satu
pihak.
Dalam rangka
mengakhiri kegiatan prostitusi dilokalisasi Dolly tanggal 17 Juni 2014, dengan
jumlah 58 yang mendukung
penutupan Dolly antara lain
Gerakan Umat Islam Bersatu ( GUIB ), Nahdlatul Ulama ( NU ), Hidayatullah Jawa
Timur , Perhimpunan Al Irsyad Jawa Timur, Dewan Masjid Indonesia Jawa Timur, Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Timur, Persatuan Islam (Persis) Jawa Timur, Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Timur dan lainnya
Koordinator GUIB Jatim, H.Abdurrachman Azis mengatakan,
pihaknya bertemu walikota untuk memberikan dukungan moril kepada walikota
terkait rencana penutupan Dolly. Dukungan itu diwujudkan dalam enam butir
pernyataan sikap GUIB Jatim yang dibacakan di hadapan walikota. Enam butir
pernyataan itu diantaranya mendukung sepenuhnya kebijakan Pemkot Surabaya untuk
menutup lokalisasi Dolly tanggal 19 Juni 2014 sebagaimana tertuang dalam
kesepakatan dengan Gubernur Jatim. Serta, mengutuk dengan keras atas tindakan
pihak tertentu yang membonceng isu penolakan penutupan tempat-tempat prostitusi di Surabaya khususnya Dolly untuk kepentingan
politis-pragmatis jangka pendek dengan mengatasnamakan masyarakat terdampak.
“Intinya,
kami mendukung ibu walikota untuk menutup tempat-tempat prostitusi sebelum
bulan Ramadan,” tegas Abdurrachman Azis.
Sekretaris GUIB Jatim,
Mochamad Yunus menambahkan, selain menyatakan dukungan kepada walikota,
pihaknya juga akan menggelar beberapa spanduk yang isinya dukungan terhadap penutupan Dolly di berbagai titik kota Surabaya. “Spanduk-spanduk tersebut akan
menyatakan dukungan penutupan lokalisasi dari berbagai sudut pandang. Misalnya
demi kepentingan perlindungan anak, penataan kota, dan lain sebagainya sesuai
kreasi masing-masing,” ujarnya.
Walikota Surabaya, Tri Rismaharini menyatakan berterima kasih
atas dukungan GUIB Jatim. Namun, walikota menegaskan bahwa yang paling utama
dalam upaya revitalisasi
kawasan lokalisasi Dolly adalah
terjaganya kondusivitas di Kota Surabaya. Walikota tidak menginginkan terjadi
benturan (konflik) tetapi diselesaikan dengan damai. Karena itu, walikota
meminta GUIB Jatim untuk tidak bergerak dulu.
“Saya tidak ingin ada gesekan, saya harus bisa menjaga
kondusivitas Surabaya. Saya yakin panjenengan niatnya baik. Jadi saya mohon
didoakan supaya kami kuat. Kami mohon diberikan kesempatan untuk
menyelesaikannya dulu. Saya yakin, kalau kita niatnya baik, Insya Allah, Allah
akan membantu.” tegas walikota.
Walikota perempuan pertama di Kota Surabaya ini menegaskan,
Pemkot memiliki keyakinan bisa menyelesaikan rencana penutupan Dolly sesuai
rencana. Sebab, Pemkot sebelumnya sudah berhasil menutup empat lokalisasi di
Surabaya. Yakni lokalisasi Dupak Bangunsari, Kremil Tambak Asri, Klakah Rejo
dan Sememi. Bahkan, tidak sekadar menutup, Pemkot Surabaya juga melakukan
pendampingan. Kini, beberapa mantan PSK dan mucikari di bekas lokalisasi
tersebut, sudah banyak yang berhasil menekuni Usaha Kecil Menengah (UKM).
Mereka sudah berhasil menghasilkan produk-produk seperti batik dan kue.
Terkait rencana penutupan Dolly, walikota menyiapkan
langkah-langkah agar perekonomian warga sekitar bisa hidup melalui sentra PKL
atau juga pasar. Mantan Kepala Bappeko Surabaya ini menegaskan bahwa rencana
penutupan lokaliasi tersebut bukan didasari karena emosi. Tetapi demi masa
depan anak-anak di sana dan juga untuk mengangkat derajat warga di sekitar lokalisasi.
Menurut walikota, Pemkot sudah melakukan pendekatan kepada warga di sekitar
lokalisasi Dolly sejak 2010.
“Ini bukan hanya menangani PSK atau mucikari saja, tetapi
juga warga di sekitar lokalisasi. Saya ingin ekonomi mereka bangkit dengan
usaha yang diridhoi Allah. Insya Allah bisa, meski memang butuh waktu,” jelas
walikota.
Terkait
masih adanya warga disekitar lokalisasi yang belum siap dengan rencana
penutupan Dolly, walikota menyampaikan sudah memiliki strategi untuk meyakinkan
warga. Menurut walikota, untuk mendekati warga, tidak bisa dilakukan dengan
menggelar rapat-rapat di kelurahan. Sebab, cara itu tidak akan berhasil.
“Tetapi harus didekati satu-satu dan ditanya apa keinginan
mereka. Harus dilakukan secara personal. Kita masih mendata dan saya kira
waktunya masih nutut. Ini ada yang anaknya ingin jadi Linmas, ada yang ingin
usaha laundry atau buka salon, dan kita fasilitasi,” jelas walikota.
Lain halnya dengan Wawali Kota Surabaya yang juga Ketua DPC PDIP
Surabaya Wisnu Sakti Buana mengaku pendapatnya telah diakomodir dan Risma
Walikota mulai menerima bahwa laporan dari SKPD soal Dolly selama ini tidak
semuanya benar, sekaligus mendapat mandate untuk memimpin pertemuan warga
terdampak dengan sejumlah SKPD terkait, agar bisa mendengarkan langsung keluhan
warga terdampak.
“saya tadi pagi sudah mendapatkan perintah dari ibu Walikota untuk turun ke lokasi dengan mengajak semua kepala dinas terkait, masukan saya diterima dengan baik, karena ternyata ibu Walikota juga mulai mengerti bahwa laporan yang masuk selama ini tidak seratus persen benar,” ucap Wisnu alias WS.
Wisnu juga membantah jika dirinya dianggap menolak rencana penutupan lokalisasi Dolly, tetapi dirinya mengaku bahwa proses dan sisitem yang diterapkan pemkot Surabaya masih terkesan arogan, sehingga berbeda dengan pendapatnya.
“saya tidak dalam posisi menolak, demikian juga dengan warga yang terdampak disana, namun cara dan prosesnya agak berbeda dengan saya, karena rencana yang akan dilakukan oleh pemkot Surabaya masih terkesan sangat arogan,” tandasnya.
Dijelaskan oleh WS bahwa data laporan yang selama ini masuk Walikota Surabaya tidak akurat karena survey dan pendekatan yang dilakukan hanya kepada sebagian kecil warga terdampak, itupun hanya perwakilan dari RT, sementra jumlah KK terdampak adalah 4 RW yang jumlahnya mencapai ribuan KK.
“target kami itu ada jaminan penghasilan terhadap seluruh keluarga warga yang terdampak, nah ternyata setelah bu Walikota memanggil asisten 4 yang membidangi Kesra, baru diketahui bahwa ternyata hanya 130 KK yang terdata, itupun datanya baru masuk hari senen kemaren, dan diperoleh dari perwakilan RT, artinya SKPD selama ini belum pernah turun langsung, oleh karena itu saya diminta bu Wali untuk memimpin langsung pertemuan SKPD dengan warga terdampak, agar bisa mendengar langsung apa kemauan warga yang sebenarnya,” tambahnya.
Wisnu juga menandaskan bahwa hendaknya pemkot Surabaya melakukan pendekatan dan pendataan ke seluruh warga terdampak yakni 4 RW, karena targetnya penutupan total, bukan sebagian.
“apapun yang akan dilakukan pemkot Surabaya harusnya berdasarkan data yang kongkrit dan komplit, karena targetnya penutupan total, jadi warga yang harus diajak bicara juga semua secara total,
“Terkait deadline penutupan tanggal 19 Juni, apakah komitmen pemkot sudah bisa diterima oleh warga terdampak, itu harus dipikirkan, makanya harus duduk bersama untuk membicarakan,” tegasnya.
Orang nomor dua di Surabaya ini juga mencontohkan bahwa kasus penutupan lokalisasi besar Kramat Tunggak Jakarta berhasil dilakukan karena system pendekatan dan pendataannya dilakukan secara benar dan bertahap.
“kramat tunggak itu ditutup setelah 3 tahun dicanangkan, artinya ini ada proses panjang yang harus dilalui, bukan dadakan seperti ini, bahkan warga disana mengerti soal rencana penutupan saja dari media, ini kan seperti kembali ke jaman feodal, sehingga orang-orang dinas merasa takut turun lapangan, karena sudah memberikan kesan arogan kepada masyarakat disana,” urainya.
Tidak hanya itu, WS juga menilai bahwa penutupan sejumlah lokalisasi di Surabaya yang telah dilakukan oleh pemkot Surabaya sebelumnya adalah gagal, karena hingga saat ini masih dijumpai sejumlah PSK yang masih menjalankan profesinya di lokasi penutupan.
“siapa yang bilang penutupan 4 lokalisasi sebelumnya itu berhasil, ayo datang sama-sama dengan saya nanti malam, kira-kira masih ada nggak PSK yang beroperasi, yang pasti masih ada, itu artinya belum berhasil, karena pendekatan dan datanya tidak kongkrit,” kritik WS.
“saya tadi pagi sudah mendapatkan perintah dari ibu Walikota untuk turun ke lokasi dengan mengajak semua kepala dinas terkait, masukan saya diterima dengan baik, karena ternyata ibu Walikota juga mulai mengerti bahwa laporan yang masuk selama ini tidak seratus persen benar,” ucap Wisnu alias WS.
Wisnu juga membantah jika dirinya dianggap menolak rencana penutupan lokalisasi Dolly, tetapi dirinya mengaku bahwa proses dan sisitem yang diterapkan pemkot Surabaya masih terkesan arogan, sehingga berbeda dengan pendapatnya.
“saya tidak dalam posisi menolak, demikian juga dengan warga yang terdampak disana, namun cara dan prosesnya agak berbeda dengan saya, karena rencana yang akan dilakukan oleh pemkot Surabaya masih terkesan sangat arogan,” tandasnya.
Dijelaskan oleh WS bahwa data laporan yang selama ini masuk Walikota Surabaya tidak akurat karena survey dan pendekatan yang dilakukan hanya kepada sebagian kecil warga terdampak, itupun hanya perwakilan dari RT, sementra jumlah KK terdampak adalah 4 RW yang jumlahnya mencapai ribuan KK.
“target kami itu ada jaminan penghasilan terhadap seluruh keluarga warga yang terdampak, nah ternyata setelah bu Walikota memanggil asisten 4 yang membidangi Kesra, baru diketahui bahwa ternyata hanya 130 KK yang terdata, itupun datanya baru masuk hari senen kemaren, dan diperoleh dari perwakilan RT, artinya SKPD selama ini belum pernah turun langsung, oleh karena itu saya diminta bu Wali untuk memimpin langsung pertemuan SKPD dengan warga terdampak, agar bisa mendengar langsung apa kemauan warga yang sebenarnya,” tambahnya.
Wisnu juga menandaskan bahwa hendaknya pemkot Surabaya melakukan pendekatan dan pendataan ke seluruh warga terdampak yakni 4 RW, karena targetnya penutupan total, bukan sebagian.
“apapun yang akan dilakukan pemkot Surabaya harusnya berdasarkan data yang kongkrit dan komplit, karena targetnya penutupan total, jadi warga yang harus diajak bicara juga semua secara total,
“Terkait deadline penutupan tanggal 19 Juni, apakah komitmen pemkot sudah bisa diterima oleh warga terdampak, itu harus dipikirkan, makanya harus duduk bersama untuk membicarakan,” tegasnya.
Orang nomor dua di Surabaya ini juga mencontohkan bahwa kasus penutupan lokalisasi besar Kramat Tunggak Jakarta berhasil dilakukan karena system pendekatan dan pendataannya dilakukan secara benar dan bertahap.
“kramat tunggak itu ditutup setelah 3 tahun dicanangkan, artinya ini ada proses panjang yang harus dilalui, bukan dadakan seperti ini, bahkan warga disana mengerti soal rencana penutupan saja dari media, ini kan seperti kembali ke jaman feodal, sehingga orang-orang dinas merasa takut turun lapangan, karena sudah memberikan kesan arogan kepada masyarakat disana,” urainya.
Tidak hanya itu, WS juga menilai bahwa penutupan sejumlah lokalisasi di Surabaya yang telah dilakukan oleh pemkot Surabaya sebelumnya adalah gagal, karena hingga saat ini masih dijumpai sejumlah PSK yang masih menjalankan profesinya di lokasi penutupan.
“siapa yang bilang penutupan 4 lokalisasi sebelumnya itu berhasil, ayo datang sama-sama dengan saya nanti malam, kira-kira masih ada nggak PSK yang beroperasi, yang pasti masih ada, itu artinya belum berhasil, karena pendekatan dan datanya tidak kongkrit,” kritik WS.
( Ham
)