Surabaya menjadi satu diantara empat kota di Indonesia yang mendapat
kunjungan dari pelapor khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Kedatangan
utusan PBB tersebut adalah atas undangan Pemerintah Republik Indonesia (RI)
dengan maksud menunjukkan komitmen terhadap pemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia (HAM).
Sebagaimana dilansir website resmi Kementerian Luar Negeri, Wakil Menteri
Luar Negeri (Wamenlu), Wardana, mengatakan, lawatan pelapor khusus PBB
diharapkan dapat mengekspose kemajuan pembangunan nasional di bidang perumahan
dan memberikan masukan bagi Pemerintah RI. “Masukan yang diberikan ditinjau
melalui pendekatan HAM dalam peningkatan upaya pemenuhan kebutuhan perumahan,
termasuk akses bagi masyarakat terhadap perumahan yang layak, terutama bagi
rakyat kurang mampu,” terang Wardana melalui siaran pers Kemenlu.
Di Surabaya, dua orang utusan PBB meninjau tiga lokasi, yakni Boezem
Morokrembangan, Kelurahan Gundih, dan Rusunawa Penjaringansari, Jumat (7/6).
Mereka adalah Pelapor Khusus Mengenai Hak Atas Perumahan Layak, Raquel Rolnik
serta staf pendamping Lidia Rabinovich. Selama kunjungan, mereka didampingi
Kabag Kerjasama Pemkot Surabaya Ifron Hady dan Kabid Fisik dan Prasarana Badan
Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Dwidjajawardana.
Di ketiga lokasi tersebut, pelapor khusus PBB terlibat diskusi langsung
dengan warga. Beberapa kali Raquel mengajukan pertanyaan detail seputar
penataan ruang terbuka hijau (RTH), program bedah rumah, relokasi warga
bantaran sungai, pengelolaan sampah, hingga status kepemilikan tanah warga.
Rolnik menjelaskan, tujuan utamanya adalah untuk memperoleh informasi
sebanyak-banyaknya melalui dialog dengan pemangku kepentingan terkait, mengenai
upaya pemajuan hak atas perumahan yang layak. Setelah itu, lanjut dia, hasil
kajian akan diolah dalam bentuk laporan. “Apa yang masuk dalam laporan bisa
menjadi masukan yang bermanfaat bagi pemerintah RI dalam membuat kebijakan,”
ujarnya.
Menurut Rolnik, kriteria perumahan yang layak bukan hanya ditentukan dari
fisik bangunan. Namun, yang dimaksud layak adalah rumah yang membuat
penghuninya bisa menikmati hak-haknya sebagai manusia. Poin-poin yang perlu
diperhatikan meliputi pendidikan, kesehatan, ekonomi, serta non-diskriminasi.
“Jadi layak tidaknya suatu pemukiman tidak ditentukan dari ukuran
besar-kecilnya saja, tapi yang lebih penting adalah pemajuan hak-hak asasi
manusia di lingkungan tersebut,” imbuhnya.
Dari pihak pemkot, Dwidjajawardana menyatakan, Surabaya ingin menunjukkan
komitmen yang kuat terhadap masyarakat miskin, terutama untuk penyediaan
lingkungan perumahan. Pemkot, lanjut dia, berupaya menyiapkan fasilitas
walaupun dengan keterbatasan anggaran. Caranya, selalu berkoordinasi dan
bekerja sama dengan pemerintah pusat maupun provinsi. “Buktinya, program
penataan pemukiman selama ini berjalan dengan baik. Berikutnya, pemkot
menargetkan pembangunan sepuluh twin blok rusun selama lima tahun,” papar pria
yang akrab disapa Dwidja ini.