Setelah kemarin para
peserta kongres JKPI diajak keliling Kota Surabaya. Selasa (23/10), Kongres II
JKPI tahun 2012 resmi dimulai, di Hotel Majapahit Surabaya. Kongres kali ini
mengusung tema Otonomi Daerah dan Restorasi Pusaka.
Dalam kongres,
Walikota Surabaya, Tri Rismaharini memaparkan keberhasilan Kota Surabaya
dalam hal lingkungan. Menurut Risma, keberhasilan sebuah kota menjadi bersih
dan hijau tergantung pada peran aktif warga kota itu sendiri. “Jadi, modalnya
adalah mengajak warga untuk mau berubah, dan merasa memiliki kota. Sebab, kota
sebagai tempat tinggal kita ini merupakan rumah kita yang harus dirawat
bersama-sama,” pungkasnya.
Ia menuturkan untuk
menjaga sejarah kota Surabaya, Pemerintah Kota Surabaya melakukan Revitalisasi
Kali Mas. Hal ini dilakukan untuk mengenang kembali sejarah Kali Mas sebagai
salah satu saksi perkembangan kota Surabaya. “Pemkot Surabaya telah membangun
berbagai Taman di pinggir Kali Mas. Semenjak ada Taman, warga Surabaya banyak
yang berkumpul di Taman. Secara tidak langsung, warga Surabaya akan mengenang
kembali sejarah-sejarah tentang Kali Mas,” ujarnya.
Tak hanya itu, Pemkot Surabaya juga telah melakukan
pengecatan gedung yang merupakan cagar budaya. Di kawasan kota lama, Pemkot
juga sudah melakukan renovasi gedung cagar budaya. Di kawasan tersebut, juga
dibangun pedestrian. Tujuannya, supaya warga yang berjalan di pedestrian bisa
menikmati suasana kota lama, dengan pemandangan bangunan-bangunan lama.
Risma juga mengatakan
bahwa mengelolah bangunan cagar budaya tidaklah mudah. Karena, banyak
kepentingan yang harus ditemukan solusinya. Maka, melalui kongres semacam ini
bisa didapatkan solusi. “Setiap daerah kan punya permsalahan yang berbeda-beda.
Melalui forum ini, pasti banyak yang memberikan masukan. Keputusan yang dihasilkan
forum ini, bisa dijadikan acuan untuk mengajukan usulan kepada Pemerintah Pusat
tentang kota pengembangan kota pusaka,” imbuhnya saat ditemui disela-sela
kongres.
Yang membedakan kota
Surabaya dengan kota lain. Yakni, setiap tahunnya kota Surabaya
menyelenggarakan parade juang, sekolah kebangsaan. Hal ini, dilakukan untuk
merangsang para generasi muda mau peduli terhadap sejarah kota Surabaya.
“Melalui event tersebut, tidak saja euphoria saja. Melainkan inti dari event
itu bisa diterima generasi muda untuk ingat akan sejarah,” ungkapnya.
Masih kata Risma, Ia menambahkan untuk mempermudah
melakukan konservasi bangunan-bangunan cagar budaya ang dimiliki perorangan.
Pemkot Surabaya akan memberikan intensif, seperti memberikan keringanan pajak
bangunan. “Keringanan pajak seperti mendapatkan potongan PBB bagi banguna cagar
budaya. Kita sudah menuangkan aturan tersebut melalui Perda nomor 10 tahun 2012
tentang pajak Bumi dan Bangunan,” jelasnya.
Sementara itu, menurut
arsitek, Budi Sukandar salah satu pembicara mengatakan bahwa teknik pemugaran
sebuah kawasan atau bangunan cagar budaya, perlu diketahui dulu sejarah kawasan
maupun bangunan tersebut. Kemudian, baru melangkah pada kawasan ini atau
bangunan di renovasi atau di konservasi.
Menurutnya ada 2 kategori pemugaran yakni
kawasan dan benda. Juga diperlukan 5 landasan ketika melakukan pemugaran yakni
dilihat otentik, orisinil, langka, landmark, memiliki gaya yang mewakili
periode tetentu. “Kita juga peru mengetahui gaya bangunan di kawasan yang akan
di konservasi atau direnovasi,” terangnya.
Salah satu pembicara
yang lain, yakni Yunus Satrio Atmojo, Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
mengungkapkan kekagumannya terhadap langkah-langkah yang dilakukan Walikota
Surabaya, Tri Rismaharini dalam mengajak warga Kota Surabaya peduli terhadap
kotanya. Memelihara kota bukan sekedar menata infrastruktur, tetapi mengelola
manusia dan aktivitas mereka.
“Masih banyak kota lama di Indonesia yang masih belum
mendapatkan perhatian secara maksimal. Sebab, kota lama ini merupakan salah
satu bukti kebudayaan kala bangunan ini pertama kali dibangun,” katanya.
Yunus melanjutkan bahwa
peran Pemerintah Daerah, mempertahankan identitas kota. Dilakukan dengan
memelihara ingatan kolektif, mempertahankan ikatan sejarah, menjaga hubungan
batin penduduk dengan ruang hidup mereka, dan mengangkat martabat penghuni
kota. “Supaya kota tidak ‘jompo’, maka hendaknya mengatur kecepatan perubahan
yang